PandoraBox: Stress yang dialami Mahasiswa/i
Demo Blog

Stress yang dialami Mahasiswa/i

by Sapto Mexavriand kategori :

Stress telah menjadi mimpi buruk bagi banyak mahasiswa dari tahun ke tahun, bahkan tidak jarang stress berkembang menjadi ‘mesin penghancur’ hidup para mahasiswa. Namun, ‘tamu tak diundang’ ini sebenarnya dapat kita siasati. Memahami stress dan mengenali gangguan stress yang seringkali muncul pada mahasiswa, akan membantu kita dalam menemukan ‘jurus’ nan ampuh untuk menyiasatinya.
Memahami stress dari sudut pandang yang baru
Hampir semua dari kita pasti pernah mendengar atau bahkan menggunakan istilah yang satu ini. Istilah ini selalu hadir dalam banyak masalah yang dihadapi, mulai dari tugas kuliah yang menumpuk, kemacetan yang melanda saat berangkat ke kampus, bahan ujian yang begitu membebani, hingga pertengkaran dengan kekasih. Ketika pikiran dan emosi terganggu akibat berhadapan dengan masalah-masalah tersebut, muncul satu kata yang seakan jadi ‘mahluk’ paling berdosa atas hal-hal yang terjadi. Kata tersebut adalah stress. Stress selalu menjadi ‘kambing hitam’ permasalahan, padahal jika kita memahami stress dengan tepat, stress tidaklah selalu menjadi hal merugikan. Pandangan salah tentang stress ini telah meluas, sehingga Hans Selye, yang merupakan seorang peneliti dan “guru besar” studi tentang stress, pernah berkomentar bahwa stress sama halnya dengan hukum relativitas. Kedua hal ini sama-sama begitu dikenal banyak orang, namun hanya sedikit yang memahami pengertian sebenarnya (Rice, 1999).
Secara garis besar, stress dapat didefinisikan sebagai kondisi dan respon dari tubuh maupun pikiran, yang di satu sisi dapat menyelamatkan hidup kita, dan di sisi lain dapat merugikan sistem tubuh, seperi menimbulkan penyakit atau, yang paling parah, berujung pada kematian. Respon dari tubuh maupun pikiran ini muncul karena adanya stressor. Stressor merupakan suatu peristiwa atau kejadian yang menstimulasi munculnya respon stress. Stressor tersebut dapat muncul dalam bentuk fisik, sosioemosi, ekonomi, atau spiritual. Namun, stress sebagai respon terhadap stressor selalu bersifat fisik (Girdano, Everly dan Dusek, 1997).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa stress dapat menyelamatkan sekaligus merugikan. Hal itulah yang seringkali dilupakan atau bahkan tidak diketahui banyak orang. Mencegah pandangan salah ini terus berlanjut, Selye kemudian membuat dua istilah terpisah untuk menyatakan stress berdasarkan sifat-sifatnya. Kedua istilah ini adalah distress dan eustress. Distress merujuk kepada stress yang merusak atau mengganggu. Stress ini menimbulkan kondisi takut, cemas, terganggu, atau lelah secara mental (fatique). Studi-studi tentang dampak stress menunjukkan adanya hubungan antara distress dengan gangguan kesehatan seseorang, termasuk juga produktivitas tiap-tiap individu yang mengalami distress ini (dalam Cooper, 2001). Istilah kedua, eustress, mewakili pengalaman stress yang positif dan menguntungkan bagi diri kita. Eustress muncul dalam beraneka bentuk, mulai dari meningkatkan kewaspadaan, performa, hingga daya pikir seseorang. Eustress dapat memberi daya kepada diri kita untuk berusaha lebih maksimal, lebih semangat, bahkan menjadi lebih kreatif.
Distress yang Merambah Dunia Perkuliahan
Perkuliahan pada dunia modern sekarang ini, bukan lagi hanya sekadar datang ke kampus, menghadiri kelas, ikut serta dalam ujian, dan kemudian lulus. Tidak. Tidak sesederhana itu. Hal ini dapat kita analogikan dengan proses evolusi yang membuat spesies-spesies mahluk hidup semakin kompleks, demikian juga dunia perkuliahan dewasa ini. Begitu banyak aktivitas yang terlibat dalam kegiatan kuliah. Bergaul, having fun dengan teman atau pacar, mengembangkan bakat dan minat melalui kegiatan-kegiatan non-akademis, hingga bekerja untuk menambah uang saku. Pola hidup yang kompleks ini seringkali menjadi beban tambahan disamping tekanan dalam kuliah yang sudah begitu melelahkan. Masalah di luar perkuliahan mau tak mau harus diakui turut mempengaruhi, baik dari segi mood, konsentrasi, maupun prestasi akademik. Apalagi grafik usia yang menunjukkan bahwa para mahasiswa umumnya berada dalam tahap remaja (adolescence) hingga dewasa muda (early adulthood) (Santrock, 2006). Seseorang pada rentang usia ini masih labil dalam hal kepribadiannya, sehingga dalam menghadapi masalah, mahasiswa cenderung terlihat kurang berpengalaman.
Masalah-masalah tersebut, baik dalam hal perkuliahan maupun kehidupan di luar kampus, dapat menjadi distress yang mengancam. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ketika ada stressor yang datang, maka tubuh akan meresponnya. Supaya kita tidak salah mengerti respon ini, maka pertama-tama kita perlu memahami dulu stressor-stressor apa saja yang mungkin muncul dalam kehidupan mahasiswa.
Kenali Mereka, Para Stressor yang Siap Mengancam
Stressor memiliki beragam bentuk, dan pada tiap-tiap lingkungan hidup serta aktivitas manusia, stressor memiliki bentuk-bentuknya tersendiri. Secara garis besar, dalam dunia perkuliahan sendiri dikenal tiga kelompok stressor, yaitu stressor dari area personal dan sosial, stressor dari gaya hidup dan budaya, serta stressor yang datang dari faktor akademis kuliah itu sendiri (Rice, 1999). Ketiga stressor ini sangat beragam pengaruhnya pada masing-masing individu.
Kesepian (Loneliness)
Kesepian adalah perasaan tak nyaman atau menyakitkan yang bersumber dari kurangnya relasi sosial (dalam Rice, 1999). Kesepian seringkali dialami oleh mahasiswa dalam masa perkuliahan. Masa-masa awal perkuliahan dimana seorang mahasiswa belum mengenal teman-temannya, perubahan kelas, ataupun gangguan hubungan pertemanan yang mengakibatkan seseorang dikucilkan dan ditinggalkan sahabatnya adalah contoh-contoh peristiwa yang dapat mengakibatkan perasaan kesepian muncul.
Bagi kaum muda-mudi, kesepian seringkali berarti akhir dari segalanya. Saat ada masalah, tidak ada yang bisa diajak bicara. Sedangkan, orangtua seringkali malah tidak bisa menolong karena perbedaan usia dan generasi tak jarang menyebabkan perbedaan pola pikir. Hidup terasa begitu sulit dan hampa. Akibatnya, timbul rasa malas melakukan kegiatan, frustasi, rendah diri, depresi, tekanan darah meningkat, atau bahkan terjerumus ke dalam “lingkaran setan” narkotika.
Hubungan atau Relasi
Relasi dengan orang lain, baik dengan teman kuliah atau bukan, juga memiliki pengaruh yang besar bagi mahasiswa. Gangguan pada aspek tersebut dapat berubah menjadi stressor, yang seringkali berkaitan dengan perasaan sendiri atau kesepian.
Time Disaster
Kebiasaan hidup dengan tergesa-gesa merupakan “bibit-bibit” awal penyebab distress muncul. Time management yang buruk membuat seorang mahasiswa seringkali terjebak macet di jalan, terlambat mengikuti kuliah, tidak mengumpulkan tugas pada waktunya, hingga sulit memiliki waktu belajar akibat aktivitas harian yang tak direncanakan.
Stressor Gaya Hidup dan Budaya
Hambatan Keuangan
Kuliah tidak lagi sekadar belajar di kampus. Menjalani aktivitas kuliah berarti terlibat dengan lingkungan sosial di tempat kuliah. Hidup bersama mahasiswa-mahasiswa lain dan menjalani aktivitas baru yang berbeda dengan rutinitas pendidikan di jenjang sebelumnya. Sehingga, keuangan tidak hanya diperlukan untuk biaya akademis, namun juga untuk mendanai gaya hidup yang baru. Pergi ke mal tentu tidak cukup hanya melihat-lihat setiap saat. Atau selalu menunggu untuk meminjam keping DVD dari teman ketimbang pergi menonton film di bioskop bersama sahabat atau kekasih.
Kegiatan-kegiatan seperti contoh di atas bukan lagi menjadi kebutuhan tertier yang bercorak mewah, namun sudah menjadi kebutuhan primer bagi kawula muda di zaman modern ini. Sehingga, mahasiswa seringkali dibuat pusing dan terganggu pikirannya akibat biaya kuliah yang telah begitu membebani orangtua, sementara itu, uang saku yang ada tidak jarang tertinggal jauh dibanding harga tiket bioskop, makanan cepat saji, atau T-Shirt keluaran terbaru di counter-counter mal. Pikiran tak lagi bisa fokus pada kuliah, melainkan terganggu oleh segala keinginan yang tak tercapai akibat segi finansial kurang mencukupi.
Akulturasi dan Isu Ras
Akulturasi menyatakan perubahan dari nilai-nilai kepribadian dan sikap yang diakibatkan bertemunya suatu budaya dengan budaya lain (Rice, 1999). Di era globalisasi ini, kampus seringkali menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa dari berbagai tempat, baik itu dalam suatu negara maupun lintas negara (cross-country).
Fenomena ini dapat menjadi masalah sendiri bagi mahasiswa. Kelompok mahasiswa minoritas seringkali merasa tersisih dan diabaikan oleh mahassiswa dari golongan mayoritas. Sehingga, muncul perasaan diasingkan, kesepian, tak percaya diri, dan minder. Jika dibiarkan berlarut-larut, akan mengganggu kegiatan akademik dan perkembangan kepribadian mahasiswa yang bersangkutan.
Faktor Akademis Sebagai Stressor
Test Anxiety
Banyak mahasiswa merasa begitu gugup ketika akan menghadapi ujian. Perasaan cemas, was-was ditambah dengan perut yang tiba-tiba sakit, keringat dingin keluar tanpa sebab yang jelas, serta gemetaran menjadi gejala-gejala umum dari “demam ujian” ini. Banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Mulai dari persiapan untuk ujian yang tidak matang, kurang percaya diri, atau tuntutan; baik dari diri sendiri atau orang-orang terdekat; untuk memperoleh nilai dan prestasi yang tinggi. Akibatnya, hasil ujian seringkali tidak memuaskan. Hal ini akan memberi beban stress lebih kepada mahasiswa yang mengalaminya. Tekanan sebelum ujian berlangsung ditambah lagi dengan tekanan akibat hasil yang tak sesuai harapan.
Overload, Beban yang Berlebihan
Tuntutan akademis kuliah di masa sekarang tidak jarang begitu berat dan sangat menyengsarakan mahasiswa. Mahasiswa merasa dituntut untuk meraih pencapaian (achievement) yang telah ditentukan, baik oleh pihak fakultas atau universitas maupun dari mahasiswa itu sendiri. Tuntutan ini dapat memberi tekanan yang melampaui batas kemampuan si mahasiswa itu sendiri. Ketika hal ini terjadi, maka overload tersebut akan “mengundang” distress, dalam bentuk kelelahan fisik atau mental, daya tahan tubuh menurun, dan emosi yang mudah “meledak-ledak.”
Setelah Mengenali Ancamannya, Kini Ketahui Cara Penanganannya
Penjelasan di atas telah memaparkan mengenai berbagai stressor yang seringkali muncul dalam kehidupan mahasiswa di dunia perkuliahan. Sekarang, akan dijelaskan dengan gamblang cara-cara untuk menangani para “penyerang” tersebut.
Coping stress strategies adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan cara-cara penanggulangan stressor yang datang. Folkman dan Lazarus (1980) mendefinisikan coping sebagai usaha-usaha dari aspek pikiran dan sikap (behavior) untuk menguasai, mengurangi, atau menetralkan tuntutan. Coping sendiri seringkali bertujuan untuk menyelaraskan antara demand sebagai stressor dengan diri seseorang yang mengalaminya (dalam Rice, 1999).
Lazarus menyatakan bahwa ada dua kategori dari strategi coping; yaitu untuk menyelesaikan demand atau tuntutan sebagai stressor yang terjadi (problem focused), atau untuk menangani gangguan emosional yang terjadi akibat kemunculan tuntutan tersebut (emotional focused) (dalam Cooper, 2001).
Berikut akan diuraikan beberapa strategi coping untuk menangani stressor-stressor yang muncul dalam kehidupan perkuliahan. Beberapa dari strategi coping ini bersifat problem focused, sedang yang lain lebih berorientasi kepada emotional focused.

Buka diri anda terhadap lingkungan sosial
Jangan pernah merasa minder, rendah diri, atau diasingkan. Yakinlah, bahwa tiap pribadi begitu unik. Termasuk juga anda. Jadi, semangatlah menghadapi hari-hari dalam kuliah sebagai mahasiswa. Sapa tiap orang yang anda kenal jika bertemu dengan mereka, mulai dari teman sekelas, dosen, sahabat lain dalam satu fakultas yang sama juga fakultas lain, hingga petugas parkir atau kebersihan di kampus. Libatkan diri anda dalam obrolan kecil bersama teman-teman. Sehingga, anda akan diingat oleh orang-orang sekitar anda, dan tentunya image positif pun terpancar dengan baik.
Lakukan berbagai aktivitas yang memberi pengaruh positif.
Melibatkan diri dalam kesibukan di luar kuliah akan menjadi obat ampuh untuk memanage distress menjadi eustress. Bergabung dalam klub-klub kegiatan yang ada di kampus memberi banyak keuntungan. Bakat semakin terasah, dan pikiran pun tidak lagi disibukkan oleh berbagai kekhawatiran. Dan yang pasti, relasi sosial akan semakin berkembang.
Kuncinya; saving money and time management
Selalu sisihkan uang anda secara teratur dan bijaksana. Selain terhindar dari pemborosan yang tak perlu, menabung berarti terhindar dari menciptakan masalah sendiri. Anda tak perlu stress ketika ada kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi, sebab ada tabungan yang dapat digunakan di saat-saat genting.
Menurut Jack Ferner (1980), time management berarti menggunakan sumber daya, termasuk waktu, secara efisien, sehingga kita dapat mencapai tujuan pribadi kita sendiri (dalam Rice, 1999). Perlakukan waktu seperti layaknya harta langka, gunakan sebijaksana mungkin. Membuat jadwal harian akan membuat hidup lebih teratur. Dan yang pasti, stress akibat terlambat datang ke kampus, bangun kesiangan, atau tidak punya waktu istirahat akan terhindarkan. Lebih baik lagi bila kita bisa membuat rencana jangka panjang. Misalnya untuk waktu kuliah yang diperlukan. Planning seperti ini akan membuat hidup lebih terarah dan terencana. Sehingga, kita akan siap menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi nantinya.
Berlatih dan belajar
Ketahui kelemahan diri anda, kemudian perbaikilah. Jika merasa kurang dalam mata kuliah tertentu, belajar dengan porsi lebih bisa menjadi solusi jitu mendongkrak nilai. Gugup tiap kali harus presentasi atau berbicara di depan banyak orang? Berlatihlah membentuk rasa percaya diri dengan banyak melakukan presentasi serta berbicara saat terlibat obrolan dengan orang lain. Intinya, kuasai diri sendiri dan terus berusaha menjadi lebih baik.
Kendalikan emosi
Dalam dunia Psikologi, dikenal adanya istilah kepribadian tipe A. Orang dengan jenis kepribadian ini cenderung agresif, kompetitif, tegang, ceroboh, dan merasa “dikejar-kejar” waktu (Rice, 1999). Jika anda memiliki karakter-karakter demikian, mulailah untuk hidup tenang. Aturlah hidup anda sedemikian rupa sehingga emosi anda menjadi lebih stabil. Jangan anggap kuliah sebagai beban, tetapi jadikan itu sebagai pengalaman hidup berharga yang menyenangkan bagi anda.
Jangan ragu meminta tolong
Manusia adalah mahluk sosial. Kita tidak dilahirkan untuk bisa menangani segala hal dalam hidup kita sendirian. Jadi, ketika segala masalah sudah begitu menumpuk, tak perlu malu meminta bantuan pada orang-orang terdekat. Mintalah saran dan pertolongan dari teman untuk memecahkan masalah kuliah anda. Jangan pendam sendiri segala keluh kesah yang menghampiri anda. Bercerita tentang kesulitan-kesuliatan yang sedang dialami seringkali menjadi alternatif yang baik untuk membuat perasaan menjadi lebih nyaman dan beban pikiran berkurang.
Alihkan Pandangan dari Rutinitas
Erik Erikson, seorang tokoh Psikologi, mengenalkan istilah psychosocial moratorium. Istilah ini merujuk pada kegiatan seseorang untuk mencari “kesegaran” baru dari segala masalah dan rutinitas (dalam Schultz, 1976). Seperti beristirahat, berlibur, atau sekadar berjalan-jalan santai.
Jika segala coping stress telah dicoba namun hasilnya tak kunjung datang, mungkin masalahnya bukan pada coping, tapi diri anda yang lelah (exhausted) dan jenuh menghadapi segala rutinitas, masalah, dan tekanan dalam kuliah yang datang bertubi-tubi. Jadi, mulailah mencari penyegaran, agar diri anda lebih fresh dan siap menghadapi aktivitas kuliah dengan maksimal.

Stress Management Berarti Tiga Hal: Memahami Stress Dengan Benar, Mengenal Stressor yang “Mengintai,” dan Melakukan Coping Strategies yang Tepat
Setelah mengetahui banyak hal tentang stress dan cara-cara penanganannya, hal terakhir yang harus dilakukan adalah menerapkannya dalam kehidupan nyata di lingkungan kuliah sebagai mahasiswa. Tak ada coping strategies yang mutlak dilakukan. Semuanya bervariasi, tergantung dari masing-masing individu. Sebab, sebuah coping yang efektif adalah coping yang sesuai dengan keadaan dan memberikan keuntungan maksimal kepada orang (dalam hal ini khususnya mahasiswa) yang melakukannya (Cooper, Cary L., Dewe, Philip J., & O’Driscoll, Michael P, 2001).
Satu hal yang perlu diingat adalah untuk mengubah pandangan lama yang menyatakan stress harus dihilangkan. Hans Selye dalam teori General Adaptation Syndrome (GAS) mengungkapkan bahwa stressor adalah faktor yang mengganggu keseimbangan tubuh (equilibrium). Penanganan yang tepat terhadap stressor akan menjadikan stress sebagai sarana untuk mengoptimalkan diri kita. Jadi, jangan berusaha menghilangkan stress, namun tangani stress secara tepat dan jadilah mahasiswa produktif dan sukses.
Share



Baca Artikel Terkait Lainnya:

1 komentar Read More ...

1 komentar


Posting Komentar

Looking for something?

Use the form below to search the site:

Still not finding what you're looking for? Drop a comment on a post or contact us so we can take care of it!